Senin, 29 November 2010

Kaidah Ahwan Asy-Syarrayn

 Salah satu kaidah yang sering dipakai saat ini adalah kaidah ahwan asy-syarrayn (keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan). Kaidah ini sering digunakan untuk melegalisasi sesuatu yang haram; atau menjadikan sesuatu yang dilarang berubah menjadi sesuatu yang halal. Contoh :
  1. Lokalisasi zina dan judi dibolehkan dengan alasan, jika tidak dilokalisasi akan timbul bahaya yang lebih besar, yaitu perzinaan dan perjudian akan menyebarluas. 
  2. Boleh terlibat/masuk ke dalam sistem kufur, karena jika tidak, akan muncul bahaya yang lebih besar, yaitu kepemimpinan akan dikuasai oleh orang kafir. 
  3. Solusi masalah Palestina adalah dengan mendirikan dua negara, untuk Israel dan untuk Palestina. Sebab, jika tidak, bahaya lebih besar akan menimpa penduduk Palestina; peperangan akan terus-menerus berlangsung dan akan menimbulkan darar yang lebih besar daripada bahaya akibat dibentuknya dua negara: Palestina dan Israel. 
  4. Mengambil demokrasi, meski di baliknya ada bahaya, merupakan keniscayaan bagi kaum Muslim. Sebab, jika tidak mengambil demokrasi, rakyat akan dikuasai oleh pemerintahan otoriter yang madaratnya lebih besar. 
  5. Pemimpin wanita boleh, alasannya memiliki pemimpin wanita jauh lebih baik daripada tidak memiliki pemimpin sama sekali. Bahaya akibat kepemimpinan wanita lebih ringan daripada bahaya tidak adanya pemimpin bagi rakyat.

    Mendudukan Kaidah
     

    Perlu dipahami, kaidah Ahwan asy-syarrayn termasuk Qâ’idah Kulliyyah atau Qâ’idah Fiqhiyah.Qâ’idah Kuliyyah bukan nash (dalil) syariah. Qâ’idah Kulliyyah hanyalah hukum syariah yang digali dari nash syariah (al-Quran dan as-Sunnah). Menurut Mahmud Abdul Karim Hasan, Qâ’idah Kulliyyah merupakan al-hukm asy-syar’i al-kulli (hukum syariah yang bersifat global). Sebagai hukum syariah yang bersifat umum dan global, ia bisa meliputi dan diterapkan pada bagian-bagiannya (juz’iyatihi) atau yang termasuk jenisnya (afrâdihi). Sebagai hukum syariah, Qâ’idah Kuliyyah harus disandarkan pada dalil syariah, baik al-Quran, as-Sunnah, Qiyas maupun Ijmak Sahabat. 

    Makna dan Penerapan Kaidah 
    Makna kaidah ini, dengan redaksi yang berbeda-beda, menurut ulama yang mengadopsinya adalah bolehnya mengambil salah satu dari dua perkara haram yang lebih sedikit keharamannya atau lebih sedikit keburukan/mafsadatnya. Menurut Imam as-Suyuthi, kaidah ini adalah cabang dari kaidah, “Adh-Dharar yuzâlu (bahaya harus dihilangkan).” Lalu dari kaidah ini lahir kaidah,Adh-Dharar lâ yuzâlu bi adh-dharar (Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain).”

    Hanya saja, jika dua bahaya/madarat bertemu dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus—dengan kata lain salah satunya harus dijalani—maka bahaya/madarat yang lebih besar harus dihilangkan (dihindari) dengan mengambil bahaya/madarat yang lebih kecil. Menurut Imam as-Suyuthi redaksi lengkapnya adalah : 

    إِذَا تَعَارَضَا مَفْسَدَتَانٍ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِاِرْتِكَابِ أَخَفِهِمَا 

    Jika dua bahaya bertentangan maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan.

    Kaidah ini populer dengan istilah: ahwan asy-syarrayn (memilih keburukan yang paling ringan di antara dua keburukan); aqalu adh-dhararayn (memilih bahaya yang lebih kecil di antara dua bahaya); akhafu al-mafsadatayn (memilih kemafsadatan yang lebih ringan di antara dua kemafsadatan), dar’ al-mafsadah al-akbar bi al-mafsadah al-ashghar (menangkal mafsadat yang lebih besar dengan memilih mafsadat yang lebih kecil). yukhtâr ahwan asy-syarrayn aw akhafu adh-dhararayn (dipilih keburukan yang lebih kecil atau bahaya yang lebih ringan); adh-dharar al-asyadd yuzâl bi adh-dharar al-akhafu (bahaya yang lebih serius dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan).

    Menurut Imam as-Suyuthi, Izzuddin bin Abdus Salam dan al-Qarafi, kaidah ini hanya diterapkan dalam kondisi ‘emergensi’ (darurat/terpaksa). Sebab, kaidah ini merupakan cabang dari kaidah Adh-Dhararu Yuzâlu (Bahaya harus dihilangkan). Kita tidak bisa beralih ke hukum cabang (kaidah cabang) apabila hukum asal (kaidah asal) masih bisa diberlakukan. Hukum pokoknya adalah : segala kemadaratan, mafsadat dan keharaman harus dihilangkan; kecuali jika dua bahaya bertentangan dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan terpaksa menempuh bahaya yang lebih kecil atau lebih ringan. 

    Dalil Kaidah 
    Menurut Imam Shalahudiin al-‘Ala’I, di antara dalil kaidah ini adalah Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu Nabi saw. menyetujui klausul : jika ada dari penduduk Makkah datang kepada Nabi saw. dalam keadaan beriman maka ia akan dikembalikan ke Makkah. Jika ada kaum Muslim dari Madinah datang ke Makkah maka mereka tidak harus dikembalikan ke Madinah. Nabi saw. menyetujuinya—meski bisa membahayakan, yaitu melemahkan posisi kaum Muslim dan agama Islam—untuk menghindari bahaya yang jauh lebih besar, yaitu akan terbunuhnya kaum Muslim yang tinggal di Makah. 

    Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam mengetengahkan dalil kaidah ini. Beliau menyatakan, “Namimah adalah mafsadat yang diharamkan, tetapi boleh dilakukan atau diperintahkan jika mengatakannya mengandung maslahat yang lebih besar bagi orang yang diberitahunya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah QS al-Qashash [28] : 20. Berita yang disampaikan kepada Nabi saw. oleh para Sahabat tentang kaum munafik adalah juga dalil tentang hal ini. 

    Dalil yang lain adalah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa pernah ada seorang Arab Baduwi (pedalaman) berdiri di salah satu sudut masjid, lalu kencing di situ. Para Sahabat berteriak (hendak menghentikannya). Namun, Nabi saw bersabda, “Biarkanlah ia.” Ketika orang itu sudah selesai, Nabi saw. memerintahkan untuk menyiram air kencingnya dengan seember air. Imam an-Nawawi berkata, “Apa yang dilakukan oleh Nabi saw. adalah upaya untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Menghentikan kencingnya di tengah-tengah akan menyebabkan menyebarnya najis pada pakaian, badannya dan pada beberapa tempat di masjid. Beliau mencegah bahaya yang lebih besar ini dengan mengambil bahaya yang lebih ringan (yaitu terkotorinya bagian tertentu dari masjid dengan air kencingnya).”

    Menurut pengarang kitab, Nazhm al-Qawâ’id al-Fiqhiyah,5 di antara dalil kaidah ini adalah QS al-Baqarah : 173. Pada ayat ini disinggung dua bahaya. Pertama: bahaya yang mengancam jiwa. Kedua: adalah bahaya memakan bangkai. Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu bahaya yang mengancam jiwa dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan : memakan bangkai. 

    Syarat Penerapan Kaidah 
    Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan menyatakan, kaidah Ahwan asy-Syarrayn tidak bisa diberlakungan secara serampangan. Kaidah ini hanya diberlakukan pada dua kondisi : 

    Tidak bisa menghindari dua perkara yang diharamkan atau yang mengandung bahaya (dharar), kecuali dengan melakukan salah satunya. Kita tidak mungkin meninggalkan kedua-duanya secara bersamaan karena sangat sulit dan di luar batas kemampuan kita. 

    Bisa menghindari dua perkara yang diharamkan (berbahaya) itu, tetapi jika keduanya dihindari, akan terjadi keharaman lain yang lebih besar lagi. 

    Hanya saja, penentuan mana bahaya yang lebih besar dan yang lebih kecil tidak boleh diserahkan pada akal dan hawa nafsu, tetapi harus merujuk pada syariah. Sebab, selain menjelaskan halal dan haram, syariah juga menjelaskan mana yang lebih ringan keharamannya.

    Dalam konteks ini Imam Izzuddin bin Abdis Salam berkata : 

    Ketika berkumpul beberapa bahaya, jika mungkin untuk meninggalkannya, maka kita harus meninggalkan semuanya. Jika tidak mungkin, kita harus meninggalkan yang paling besar bahayanya, kemudian yang di bawahnya dan seterusnya. Jika derajat bahayanya sama, harus ditangguhkan. Kadangkala di antara bahaya-bahaya itu ada yang bisa dipilih, ada yang diperselisihkan dalam kesamaan dan perbedaannya. Dalam bahaya ini tidak ada perbedaan antara yang diharamkan dengan yang dimakruhkan (artinya sama-sama harus ditinggalkan). 

    Berikut ini beberapa contoh penerapan kaidah Ahwan asy-Syarrayn yang tepat sesuai dengan syarat-syaratnya : 

    Jika ada seorang ibu yang hamil atau sulit melahirkan dan dokter tidak bisa menyelamatkan ibu dan janinnya sekaligus, sementara harus segera diputuskan antara: menyelamatkan ibu, tetapi akan mengakibatkan kematian janin; atau menyelamatkan janin, tetapi akan mengakibatkan kematian ibu. Jika kondisi itu dibiarkan, ia akan mengakibatkan bahaya yang lebih besar, yaitu keduanya akan mati. Berdasarkan kaidah Ahwan asy-Syarrayn, harus diputuskan menyelamatkan ibu meski berakibat pada kematian janin.

    Jika kita melihat ada seorang yang diancam akan dibunuh, atau dianiaya atau ada seorang wanita yang akan diperkosa, dan kita mampu mencegah hal itu, namun pada saat yang sama kita harus menunaikan shalat wajib yang hampir habis waktunya, sementara tidak mungkin melakukan keduanya sekaligus. Dalam hal ini, syariah menetapkan bahwa menghilangkan keharaman seperti itu lebih diutamakan daripada menunaikan kewajiban. Yang harus dilakukan adalah mendahulukan untuk menyelamatkan orang yang akan dibunuh atau wanita yang akan diperkosa itu
     

    Boleh melakukan operasi cesar untuk mengeluarkan janin jika tidak bisa lahir secara normal meski dengan bantuan sekalipun. 

    Jika seseorang diancam agar membunuh si Fulan, kalau tidak mau ia akan dibunuh; ia tidak memiliki pilihan ketiga. Dalam kondisi seperti itu ia harus merelakan dirinya terbunuh untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu membunuh orang lain.

    Jadi, penerapan kaidah harus memenuhi ketentuan, syarat dan batasan yang telah dijelaskan oleh para ulama ushul. Penggunaan kaidah tersebut untuk membolehkan perkara yang haram, seperti yang belakangan ini terjadi, sebenarnya hanya memperalat kaidah tersebut, menyalahi syariah dan tidak pernah dikatakan oleh para ulama yang jujur.

    Misal : pendapat yang mengatakan (tentang Pemilu), “Kita harus memilih si A meski sekular, jangan memilih si B; karena si A mendukung kita, sedangkan si B tidak,” atau semisalnya. Pendapat ini secara syar’i tertolak. Yang harus dikatakan dalam masalah ini adalah kedua pilihan adalah perkara yang diharamkan. Kita tidak boleh memilih orang yang sekular dan menjadikannya sebagai wakil bagi kaum Muslim dalam menyampaikan pendapat, karena ia tidak terikat dengan Islam dan karena ia melakukan perkara-perkara yang diharamkan, yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang mewakilkan seperti: membuat hukum (tasyrî, legislasi); menyetujui program-program yang diharamkan; menuntut, menerima dan melakukan perkara yang diharamkan. Karena itu, kita tidak boleh memilih kedua-duanya; karena memilih si A atau si B sama saja haramnya dan karena tidak memilih si A atau si B masih ada dalam batas kemampuan kita. Lebih dari itu, masih ada pilihan aktivitas lainnya yang bahkan hukumnya wajib. Jadi dalam hal ini kaidah Ahwan asy-Syarrayn tidak bisa diamalkan. 

    Dalam konteks ini tidak bisa dikatakan : jika kita tidak memilih si A atau si B maka nanti akan terpilih orang yang tidak berpihak kepada kita, yang akan menimbulkan bahaya lebih besar lagi. Hal itu sebagaimana kita tidak boleh mengatakan jika kita tidak memanfaatkan bar yang menjual khamr maka bar itu akan dimanfaatkan oleh orang lain yang tidak berpihak kepada kita. Yang harus dilakukan adalah meninggalkan dua perkara haram tersebut dan mengajak orang lain untuk meninggalkannya.

    Imam at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda  

    إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُونَهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابِهِ 

    Sesungguhnya jika manusia melihat kemungkaran tetapi mereka tidak mengubahnya maka Allah akan menimpakan siksa atas mereka secara umum 

    Bisa jadi ada yang berkata: kalau kita tidak memilih salah satunya berarti kita berdiam diri, tidak melakukan apapun. Jawabannya, “Seandainya kita diminta memilih dua perkara, yaitu melakukan yang diharamkan atau tidak melakukan apapun—tidak ada pilihan ketiga, yakni melakukan yang baik—maka yang wajib dilakukan adalah kita harus berdiam diri dan menjaga diri dari melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain, dan kita harus menjaga lisan dari mengubah agama Allah. Bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir hendaklah mengatakan kebaikan atau diam.”

    Dalam konteks ini kita harus meninggalkan keduanya dan melakukan pilihan ketiga yang bahkan adalah wajib bagi kita, yaitu kita harus menggencarkan dakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar, berusaha mewujudkan orang yang layak untuk dipilih dan berusaha mengubah kondisi yang ada secara menyeluruh melalui dakwah. Sebab, yang wajib adalah kita tidak boleh menghukumi atau dihukumi, kecuali dengan Islam. 

    Kondisi tersebut sama seperti kondisi saat kepada seseorang disodorkan dua jenis makanan : bangkai dan daging babi. Apakah serta-merta ia boleh menerapkan kaidah Ahwan asy-Syarrayn? Tentu tidak. Yang harus ia lakukan adalah meninggalkan keduanya dan bersungguh-sungguh mencari makanan yang halal, serta bersabar tidak memakan keduanya, kecuali jika sampai taraf darurat yang jika tidak memakan salah satunya ia akan binasa. Wallâhu a’lam bi ash-Shawab.
Read more »

Jangan samakan Islam dengan Demokrasi !

 Sungguh mengherankan ketika ada penulis yang mengklaim aktivis dakwah dalam sebuah situs Islam menyatakan demokrasi adalah milik umat Islam yang dicuri oleh Barat. Na’ûdzubillâh!

Pandangan menyesatkan seperti ini biasanya muncul karena keliru dalam memahami fakta demokrasi atau sekadar mencari-cari legitimasi (alasan) untuk membenarkan tindakan keliru yang selama ini mereka lakukan. Demokrasi, misalnya, dilihat hanya sekadar pemilihan kepala negara (pemimpin) oleh rakyat; atau hanya proses pengambilan keputusan yang sama dengan musyawarah; atau sekadar kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan mengkritik penguasa. Dari situ muncul anggapan bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.

Kita seakan-akan melupakan, bahwa demokrasi adalah sebuah sistem politik yang muncul dari akidah sekularisme dengan prinsip-prinsip pokoknya yang bertentangan dengan Islam. Demokrasi merupakan istilah Barat, yang oleh presiden AS Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburg (1863) dikatakan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Prinsip pokok demokrasi yang paling mendasar adalah kedaulatan rakyat. Suara rakyat dianggap sebagai sumber hukum (source of law) yang paling pokok dan paling tinggi. Karena itu, kebenaran harus didasarkan pada suara mayoritas rakyat. Rakyat mempunyai otoritas mengangkat dan memberhentikan pemimpin. Rakyat juga berhak membuat peraturan dan UU karena mereka adalah pemilik kedaulatan melalui wakil-wakil mereka di parlemen. Berdasarkan prinsip penting ini perkara yang benar dan salah kemudian ditentukan oleh suara manusia atas nama suara rakyat atau suara mayoritas.

Berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat ini kemudian dibangun sistem berikut mekanismenya. Dibuatlah sistem Pemilu regular untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Terdapat lembaga parlemen yang diklaim merupakan representasi rakyat, mekanisme pengambilan keputusan di parlemen yang berdasarkan suara terbanyak, pembagian kekuasaan yang dikenal dengan trias politika dan mekanisme koreksi lewat partai-partai politik. Semua itu dibangun untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.

Dalam Islam sangat jelas bahwa kedaulatan bukanlah di tangan rakyat, tetapi di tangan syariah. Sumber hukum satu-satunya (mashdar al-hukmi) adalah al-Quran dan as-Sunnah. Allah Swt. berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

Jika kalian berselisih paham dalam suatu perkara, hendaklah kalian merujuk kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Dengan berpegang teguh pada dua perkara ini kita tidak akan tersesat. Inilah yang disabdakan Rasulullah saw. :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ

Aku meninggalkan untuk kalian dua perkara dan kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku (HR al-Hakim).

Karena itu, demokrasi dengan Islam bertolak belakang. Perbedaan secara mendasar demokrasi dengan Islam dilihat dari sumber kedaulatan ini.

Memang, baik dalam Islam maupun demokrasi, rakyatlah yang memilih kepala negara. Namun, syarat kepala negara dalam sistem demokrasi dan Islam berbeda. Dalam Islam, misalnya, diantara syarat kepala negara adalah wajib beragama Islam dan laki-laki. Sistem demokrasi tentu tidak mensyaratkan hal itu. Dalam demokrasi, pemimpin dipilih secara rutin lewat Pemilu reguler.Sebaliknya, dalam Islam, selama pemimpin (khalifah) masih memenuhi syarat in’iqâd (pengangkatan) yang hukumnya wajib, juga selama tidak melakukan penyimpangan dalam bentuk kufr[an] bawah[an] (kekufuran yang nyata), ia tidak boleh diganti. 

Dalam Islam terdapat kewajiban untuk menaati pemimpin selama dia tidak menyimpang dari hukum syariah. Syura dalam sistem Islam juga berbeda dengan demokrasi. Kata Syaikh Abdul Qadim Zallum (1990), “Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra’y). Sebaliknya, demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang dan sistem (pemerintahan).”

Jelas, dilihat dari sejarah kemunculan sistem demokrasi yang berasal dari Barat, prinsip pokok, berikut mekanisme yang ada di dalamnya, demokrasi tidak ada hubungannya dengan Islam. Sistem ini bahkan bertentangan 100 persen dengan sistem Islam. Sistem ini tidak lain merupakan sistem kufur.

Dalam Islam tasyabbuh (menyerupai, meniru-niru) orang-orang kafir jelas diharamkan. Apalagi meniru dan mempraktikkan sistem ideologi mereka yang kufur. Berkaitan dengan ini, Syaikh Ali Belhaj (pemimpin senior FIS Aljazair) dalam bukunya, Ad-Damghah al-Qawwiyah li Nasfi ‘Aqîdah ad-Dimuqrathiyah, mengutip pernyataan Sayyid Qutb tentang haramnya tasyabbuh ini. Sayyid Quthub mengatakan, “Rasulullah melarang kaum Muslim ber-tasyabbuhdalam pakaian dan penampilan, gerak dan tingkah-laku, perkataan dan adab. Sebab, di balik semua itu terdapat perasaan batin yang membedakan konsep, manhaj dan watak jamaah Islam dengan konsep, manhaj dan watak jamaah lainnya. Rasulullah juga melarang kaum Muslim untuk menerima(hukum/aturan/ideologi) selain dari Allah Swt. Padahal manhaj yang Allah berikan kepada umat ini adalah untuk diwujudkan di muka bumi..


Read more »

An Nafsiyah al Islamiyah : Bersegera Melakasanakan Syariah


Allah Swt. berfirman:

]وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ[

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (TQS. Ali Imran [3]: 133)


]إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ #وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُون[#

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan: "Kami mendengan dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang untung. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah oarng-orang yang mendapat kemenangan. (TQS. An Nuur [4]: 51-52)

]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak (pula) perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata. (TQS. Al Ahzab [33]: 36)

]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ[

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (TQS. At Tahrim [66]: 6)

]قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى# وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى# قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا# قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى[

Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari syurga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagaian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (TQS. Thaha [20]: 123-126)

Rasulullah bersabda :

«بَادِرُوا بِاْلأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا»

Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan dari hari yang gelap. (Saat itu) di waktu pagi seorang manusia beriman tapi di sore harinya ia menjadi kafir. Di sore hari seorang manusia beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamanya dengan harta dunia. (HR Muslim dari Abi Hurairah).

Sesungguhnya orang-orang yang bersegera menuju ampunan Allah dan Surga-Nya, serta bersegera melaksanakan berbagai amal shalih, mereka dapat dijumpai di masa Rasulullah saw. dan di masa–masa sesudahnya. Umat senantiasa memuliakan mereka yang bergegas menyambut perintah Tuhannya dan mengorbankan diri mereka, semata-mata mencari ridha Allah. Berikut ini akan kami paparkan contoh-contoh kaum Muslim terdahulu yang senantiasa bergegas menyambut perintah Allah Swt.:

Dalam hadits yang ditakhrij oleh Bukhari Muslim dari Jabir, diungkapkan:

«قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فَأَيْنَ أَنَا؟ قَالَ: فِي الْجَنَّةِ فَأَلْقَى تَمَرَاتٍ فِي يَدِهِ ثُمَّ قَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ»

Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah saw. pada saat perang Uhud: Bagaimana pandanganmu Ya Rasulallah saw. jika aku terbunuh saat ini, dimanakah tempat ku (setelah kematian)?. Rasulullah bersabda: Engkau akan berada di syurga. Mendengar sabda Rasulullah saw. tersebut, maka laki-laki itu serta-merta melemparkan buah kurma yang ada di tangannya, kemudian ia maju untuk berperang hingga terbunuh di medan perang.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang ditakhrij oleh Imam Muslim di sebutkan:

«فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ حَتَّى سَبَقُوا الْمُشْرِكِينَ إِلَى بَدْرٍ وَجَاءَ الْمُشْرِكُونَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُقَدِّمَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ إِلَى شَيْءٍ حَتَّى أَكُونَ أَنَا دُونَهُ فَدَنَا الْمُشْرِكُونَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُومُوا إِلَى جَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ قَالَ يَقُولُ عُمَيْرُ بْنُ الْحُمَامِ الْأَنْصَارِيُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ جَنَّةٌ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ قَالَ نَعَمْ قَالَ بَخٍ بَخٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَحْمِلُكَ عَلَى قَوْلِكَ بَخٍ بَخٍ قَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا رَجَاءَةَ أَنْ أَكُونَ مِنْ أَهْلِهَا قَالَ فَإِنَّكَ مِنْ أَهْلِهَا فَأَخْرَجَ تَمَرَاتٍ مِنْ قَرَنِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ مِنْهُنَّ ثُمَّ قَالَ لَئِنْ أَنَا حَيِيتُ حَتَّى آكُلَ تَمَرَاتِي هَذِهِ إِنَّهَا لَحَيَاةٌ طَوِيلَةٌ قَالَ فَرَمَى بِمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ التَّمْرِ ثُمَّ قَاتَلَهُمْ حَتَّى قُتِلَ»

Kemudian nabi saw. berangkat bersama para shahabatnya hingga mendahului kaum musyrikin sampai ke sumur badar. Dan setelah itu kaum musyrikin pun datang. Kemudian Rasulullah saw. bersabda: Berdirilah kalian menuju syurga yang luasnya seluas langit dan bumi. Anas bin Malik berkata: Maka berkatalah Umair bin al Hamam al Anshary: Wahai Rasulullah! Benarkah yang kau maksud itu syurga yang luasnya seluas langit dan bumi? Rasulullah saw. menjawab: Benar. Umair berkata: Bakh- bakh (ehm-ehm..). Rasulullah saw. bertanya kepada Umair: Wahai Umair, apa yang mendorongmu untuk berkata bakh- bakh (ehm-ehm)? Umair berkata tidak ada apa-apa Ya Rasulullah, kecuali aku ingin menjadi penghuninya. Rasulullah saw. bersabda: Sesunguhnya engkau termasuk penghuninya, Wahai Umair! Anas bin Malik berkata: Kemudian Umair bin Al Hamam mengeluarkan beberapa korma dari wadahnya dan ia pun memakannya. Kemudian berkata: Jika aku hidup hingga aku memakan kurma-kurma ini sesungguhnya itu adalah kehidupan yang lama sekali. Anas berkata: Maka Umair pun melemparkan kurma yang dibawanya, kemudian maju untuk memerangi kaum musyrikin hinga terbunuh.

Dalam hadits yang ditakhrij oleh Bukhari Muslim, Anas bin Malik berkata:

«غَابَ عَمِّي أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ عَنْ قِتَالِ بَدْرٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ غِبْتُ عَنْ أَوَّلِ قِتَالٍ قَاتَلْتَ الْمُشْرِكِينَ لَئِنْ اللهُ أَشْهَدَنِي قِتَالَ الْمُشْرِكِينَ لَيَرَيَنَّ اللهُ مَا أَصْنَعُ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ وَانْكَشَفَ الْمُسْلِمُونَ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعْتَذِرُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ هَؤُلَاءِ يَعْنِي أَصْحَابَهُ وَأَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ هَؤُلاَءِ يَعْنِي الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَاسْتَقْبَلَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ يَا سَعْدُ بْنَ مُعَاذٍ الْجَنَّةَ وَرَبِّ النَّضْرِ إِنِّي أَجِدُ رِيحَهَا مِنْ دُونِ أُحُدٍ قَالَ سَعْدٌ فَمَا اسْتَطَعْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا صَنَعَ قَالَ أَنَسٌ فَوَجَدْنَا بِهِ بِضْعًا وَثَمَانِينَ ضَرْبَةً بِالسَّيْفِ أَوْ طَعْنَةً بِرُمْحٍ أَوْ رَمْيَةً بِسَهْمٍ وَوَجَدْنَاهُ قَدْ قُتِلَ وَقَدْ مَثَّلَ بِهِ الْمُشْرِكُونَ فَمَا عَرَفَهُ أَحَدٌ إِلاَّ أُخْتُهُ بِبَنَانِهِ قَالَ أَنَسٌ كُنَّا نُرَى أَوْ نَظُنُّ أَنَّ هَذِهِ اْلآيَةَ نَزَلَتْ فِيهِ وَفِي أَشْبَاهِهِ ]مِنْ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ[ إِلَى آخِرِ اْلآيَةِ»

Pamanku, yaitu Anas bin Nadhr tidak ikut berperang di Badar. Kemudian ia berkata: Wahai Rasulullah saw.! Aku tidak ikut dalam peperangan pertama, dimana engkau memerangi kaum musyrik. Sungguh jika Allah memperlihatkan kepadaku peperangan melawan kaum musyrik, maka Allah pasti akan melihat apa yang akan aku lakukan. Anas berkata: Maka ketika masa perang Uhud tiba, dan kaum Muslim pun telah siap, Anas bin Nadhr berkata: Ya Allah! Aku meminta ampun kepadamu dari apa yang dilakukan oleh mereka1 (yakni para shahabat) dan aku membebaskan diri dari apa yang dilakukan oleh mereka (yakni kaum musyrik). Kemudian ia pun maju dan disambut (di halangi supaya tidak cepat-cepat maju ke medan perang) oleh Saad bin Muadz. Maka Saad berkata : Ya Rasulullah saw., Aku tidak mampu menahan apa yang dilakukannya. Anas bin Malik berkata: Maka kami menemukan lebih dari delapan puluh bekas tebasan pedang, tusukan tombak, dan panah. Kami menemukannya telah terbunuh. Ia mati dalam keadaan dicincang oleh kaum musyrik, hingga tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya, karena mengenali ujung jarinya. Anas berkata: Kami berpendapat dan menduga bahwa firman Allah:

] مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ[

Dan di antara kaum Mukmin ada orang-orang yang membenarkan janji mereka kepada Allah…(TQS. Al Ahzab [33]: 23). Ayat ini diturunkan tentang syahidnya Anas bin Nadhr dan orang-orang yang serupa dengannya.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abi Saruah, ia berkata:

«صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ الْعَصْرَ فَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ مُسْرِعًا فَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ إِلَى بَعْضِ حُجَرِ نِسَائِهِ فَفَزِعَ النَّاسُ مِنْ سُرْعَتِهِ فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ فَرَأَى أَنَّهُمْ عَجِبُوا مِنْ سُرْعَتِهِ فَقَالَ ذَكَرْتُ شَيْئًا مِنْ تِبْرٍ عِنْدَنَا فَكَرِهْتُ أَنْ يَحْبِسَنِي فَأَمَرْتُ بِقِسْمَتِهِ»

Suatu saat aku shalat Ashar dibelakang Nabi saw. di Madinah. Kemudia Beliau saw. membaca salam dan cepat-cepat berdiri, kemudian melangkahi pundak orang-orang yang ada di mesjid hingga sampai ke sebagian kamar istrinya. Maka orang-orang pun merasa kaget dengan bergegasnya Nabi (ada apa gerangan?). Kemudian Nabi saw. keluar dari kamar istrinya menuju mereka. Nabi melihat para shahabat sepertinya merasa keheran-heranan karena bergegasnya beliau. Kemudian Beliau saw. berkata: Aku bergegas dari sholat karena aku ingat pada suatu barang yang masih tersimpan dirumah kami. Aku tidak suka jika barang itu menahanku, maka aku memerintahkan (kepada istri ku) untuk membagi-bagikannya.

Dalam riwayat Muslim yang lain Nabi saw. bersabda:

«كُنْتُ خَلَّفْتُ فِي الْبَيْتِ تِبْرًا مِنْ الصَّدَقَةِ فَكَرِهْتُ أَنْ أُبَيِّتَهُ»

Aku meninggalkan sebuah barang sedekah di rumahku dan Aku tidak suka jika aku menahannya.

Hadits ini memberi petunjuk kepada kaum Muslim agar bersegera dan cepat-cepat melaksanakan perkara yang telah di wajibkan Allah Swt.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Al Barra, ia berkata:

«لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوُجِّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ وَصَلَّى مَعَهُ رَجُلٌ الْعَصْرَ ثُمَّ خَرَجَ فَمَرَّ عَلَى قَوْمٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ هُوَ يَشْهَدُ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ قَدْ وُجِّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَانْحَرَفُوا وَهُمْ رُكُوعٌ فِي صَلاَةِ الْعَصْرِ»
 
Ketika Rasulullah datang ke Madinah, maka Rasulullah saw. shalat menghadap ke Baitul Muqaddas (Masjid Al Aqsha), selama enam belas atau tujuh belas bulan. Rasulullah saw. sangat ingin diperintahkan oleh Allah agar shalat menghadap ke Ka’bah. Kemudian Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sungguh Aku telah melihat bolak-baliknya wajahmu ke langit agar Aku menghadapkanmu ke Kiblat yang kamu sukai. Maka Nabi saw. pun sholat menghadap ke Ka’bah. Pada saat itu ada seorang laki-laki yang shalat bersama Beliau saw., kemudian ia keluar menuju kaum Anshar, dan mengatakan bahwa dirinya bersaksi sesungguhnya ia shalat bersama Nabi saw. dan Beliau menghadap ke Ka’bah. Maka kaum Anshor pun merubah arah kiblat mereka (menghadap ke Ka’bah) padahal mereka sedang ruku sholat Ashar.

Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa ra., ia berkata:

«أَصَابَتْنَا مَجَاعَةٌ لَيَالِيَ خَيْبَرَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ وَقَعْنَا فِي الْحُمُرِ اْلأَهْلِيَّةِ فَانْتَحَرْنَاهَا فَلَمَّا غَلَتِ الْقُدُورُ نَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْفِئُوا الْقُدُورَ فَلاَ تَطْعَمُوا مِنْ لُحُومِ الْحُمُرِ شَيْئًا قَالَ عَبْدُ اللهِ فَقُلْنَا إِنَّمَا نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ِلأَنَّهَا لَمْ تُخَمَّسْ قَالَ وَقَالَ آخَرُونَ حَرَّمَهَا أَلْبَتَّةَ وَسَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ فَقَالَ حَرَّمَهَا أَلْبَتَّةَ»

Kami ditimpa kelaparan pada beberapa malam saat perang Khaibar, dan kami menemukan Al Humur Al Ahliyyah (Unta kemerah-merahan yang telah jinak), kemudian kami menyembelihnya. Maka ketika kuali telah mendidih, mendadak berteriaklah juru bicara Rasulullah saw.: Matikanlah kuali itu dan kalian jangan makan daging onta merah itu sedikit pun. Abdullah berkata: Kami pada saat itu mengatakan: Sesunguhnya Rasulullah saw. melarang memakannya hanya karena unta itu belum di bagi lima (karena merupakan unta rampasan perang). Tapi shahabat yang lain berkata: Unta itu diharamkan secara mutlak. Kemudian aku bertanya kepada Said bin Jubair, dan ia menjawab: Unta seperti itu diharamkan secara mutlak.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata:

«كُنْتُ أَسْقِي أَبَا طَلْحَةَ اْلأَنْصَارِيَّ وَأَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ وَأُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ شَرَابًا مِنْ فَضِيخٍ وَهُوَ تَمْرٌ فَجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ يَا أَنَسُ قُمْ إِلَى هَذِهِ الْجِرَارِ فَاكْسِرْهَا قَالَ أَنَسٌ فَقُمْتُ إِلَى مِهْرَاسٍ لَنَا فَضَرَبْتُهَا بِأَسْفَلِهِ حَتَّى انْكَسَرَتْ»

Suatu hari aku memberi minum kepada Abu Thalhah al Anshary, Abu Ubaidah bin al Jarrah, dan Ubay bin Ka’ab dari Fadhij, yaitu perasan kurma. Kemudian ada seseorang yang datang, ia berkata: Sesunggunya Khamr telah diharamkan. Maka Abu Thalhah berkata: Wahai Anas berdirilah dan pecahkanlah kendi itu! Anas berkata: Maka akupun berdiri mengambil tempat penumbuk biji-bijian (Al Mihras) milik kami, maka kami memukul kendi itu dengan bagian bawahnya (Al Mihras), hingga pecahlah kendi itu.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata:

«وَبَلَغْنَا أَنَّهُ لَمَّا أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى أَنْ يَرُدُّوا إِلَى الْمُشْرِكِينَ مَا أَنْفَقُوا عَلَى مَنْ هَاجَرَ مِنْ أَزْوَاجِهِمْ وَحَكَمَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ لاَ يُمَسِّكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ أَنَّ عُمَرَ طَلَّقَ امْرَأَتَيْنِ»

Telah sampai berita kepada kami bahwasannya Umar bin Al Khathab telah menceraikan dua istrinya, ketika Allah Swt. menurunkan firman-Nya (Al Mumtahanah []: 10, pent.), yang memeritahkan agar kaum Muslim mengembalikan kepada kaum musyrik istri yang telah mereka berikan kepada suami-suaminya yang telah hijrah dan Allah telah menentukan hukum kepada kaum Muslim agar mereka tidak menahan tali perkawinan dengan wanita-wanita kafir.

Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah ra. berkata:

«يَرْحَمُ اللهُ نِسَاءَ الْمُهَاجِرَاتِ اْلأُوَلَ لَمَّا أَنْزَلَ اللهُ ]وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ[شَقَّقْنَ مُرُوطَهُنَّ فَاخْتَمَرْنَ بِهَا»

Semoga Allah merahmati kaum wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya:

]وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ[

Dan hendaklah mereka mengenakan kain kerudung mereka diulurkan ke kerah baju mereka (TQS. An Nur [24]: 31)

Maka kaum wanita itu merobek kain sarung mereka (untuk dijadikan kerudung) dan menutup kepala mereka dengannya .

Abu Daud telah mentkhrij hadits dari Shofiyyah binti Syaibah dari ‘Aisyah ra.:

«أَنَّهَا ذَكَرَتْ نِسَاءَ اْلأَنْصَارِ فَأَثْنَتْ عَلَيْهِنَّ وَقَالَتْ لَهُنَّ مَعْرُوفًا وَقَالَتْ لَمَّا نَزَلَتْ سُورَةُ النُّورِ عَمِدْنَ إِلَى حُجُورٍ أَوْ حُجُوزٍ شَكَّ أَبُو كَامِلٍ فَشَقَقْنَهُنَّ فَاتَّخَذْنَهُ خُمُرًا»

Sesungguhnya Beliau saw. menuturkan kaum wanita Anshar, kemudian Beliau memuji mereka, dan berkata tentang mereka dengan baik. Beliau saw. berkata: Ketika diturunkan surat An Nur: 31 (tentang kewajiban memakai penutup kepala/kerudung, pent.), maka mereka mengambil kain sarung mereka kemudian meraka sobek dan menjadikanyya sebagai kain penutup kepala (kerudung).

Ibnu Ishak berkata: Al Asy’ats bin Qais telah mendatangi Rasulullah saw. bersama deleasi dari Bani Kindah. Az Zuhry telah menceritakan kepadaku bahwa Al Asy’ats bin Qais datang bersama delapan puluh orang Bani Kindah yang naik kuda/unta. Kemudian mereka masuk menemui Rasullah saw. di masjid Beliau. Mereka mengikat rambut mereka yang ikal dan memakai celak mata serta memakai jubah bagus yang dilapisi sutra. Ketika mereka masuk menemui Rasulullah saw., Beliau saw. berkata kepada mereka: Apakah kalian sudah masuk Islam?. Mereka menjawab: benar. Rasul saw. berkata: Kenapa sutra itu masih melekat dileher kalian?. Az Zuhry berkata: Maka mereka pun merobek-robek sutra tersebut dan melemparkannya.

Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Abi Buraidah dari bapaknya, ia berkata: Ketika kami sedang duduk-duduk menyantap minuman, kami ada di atas pasir. Pada saat itu kami bertiga atau berempat. Kami memiliki kendi besar dan kami meminum khamr karena masih dihalalkan. Kemudian aku berdiri dan ingin mendatangi Rasulullah saw. Kemudian aku membacakan salam kepada Beliau, tiba-tiba turunlah ayat tentang keharaman khamr :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ

Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr dan judi ………, sampai akhir dua ayat yaitu:

فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

Apakah tidak kan berhenti/berhentilah kalian.

Maka aku datang kepada shahabat-sahabatku (yang sedang minum khamr) dan membacankan ayat tersebut kepada mereka sampai kepada firman Allah:

فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

Apakah kalian tidak kan berhenti/ berhentilah kalian”.

Bapaknya Abu Buraidah berkata: Sebagian shahabatku minumannya masih ada ditangannya, sebagiannya telah di minum, dan sebagian lagi minumannya masih ada di tempatnya (semacam gelas untuk minum khamr, pent.). Ia berkata, sedangkan gelas minuman ada dibawah mulut atasnya, seperti yang dilakukan oleh orang yang membekam (mulutnya menganga), kemudian mereka menumpahkan khamr yang ada pada kendi besar mereka dan mereka berkata : Ya Tuhan kami, kami telah berhenti.

Handzalah bin Abi Amir ra. yang wafat dan dimandikan oleh malaikat telah mendengar seruan untuk berperang di Uhud. Maka ia pun bergegas menyambut pangilan itu, dan mati syahid pada perang Uhud tersebut. Ibnu Ishak berkata : Rasulullah saw. bersabda: Sesunguhnya shahabat (Handzalah) di mandikan oleh malaikat maka tanyakalah bagaimana kabar kelauarganya? Maka aku pun (Ibnu Ishak) bertanya kepada kepada istrinya. Dia pada malam itu adalah pengantin baru. Istrinya berkata: Ketika mendengar panggilan untuk berperang, suamiku keluar padahal dalam keadaan junub. Rasulullah saw. bersabda: Begitulah ia telah dimandikan oleh malaikat.

Imam Ahmad telah mentakhrij hadits dari Abi Rafi bin Khudaij, ia berkata:

«كُنَّا نُحَاقِلُ اْلأَرْضَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُكْرِيهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالطَّعَامِ الْمُسَمَّى فَجَاءَنَا ذَاتَ يَوْمٍ رَجُلٌ مَنْ عُمُومَتِي فَقَالَ نَهَانَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا نَهَانَا أَنْ نُحَاقِلَ بِاْلأَرْضِ فَنُكْرِيَهَا عَلَى الثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالطَّعَامِ الْمُسَمَّى وَأَمَرَ رَبَّ اْلأَرْضِ أَنْ يَزْرَعَهَا أَوْ يُزْرِعَهَا وَكَرِهَ كِرَاءَهَا وَمَا سِوَى ذَلِكَ»

Kami pada masa Nabi memabajak tanah, kemudian menyewakannya dengan sepertiga atau seperempat dari makanan tertentu. Pada suatu hari datanglah kepada kami seorang lelaki dari kerabat paman/bibiku, ia berkata: Rasulullah saw. telah melarang suatu perkara yang telah memberikan manfaat (duniawi) bagi kita. Tapi taat kepada Allah dan Rasul-Nya jauh lebih bermanfaat bagi kita. Beliau telah melarang kita membajak tanah kemudian kita menyewakannya dengan imbalan sepertiga atau seperempat, dan makanan tertentu. Rasulullah saw. memerintahkan pemilik tanah agar menanaminya sendiri. Beliau tidak menyukai penyewaan tanah dan yang selain itu.

(sumber : buku Hizbut Tahrir : Min Muqowwimat an Nafsiyah al Islamiyah)



Read more »

Selasa, 23 November 2010

Hukum Islam Seputar Menyambut Tamu Penguasa Imperialis

Perintah Memuliakan Tamu

Salah satu kewajiban yang dibebankan syariat kepada kaum Muslim adalah menyambut dan memuliakan tamu. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung tali persahabatan; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik-baik saja atau hendaklah dia diam saja.”[HR. Bukhari dan Muslim]

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya pada saat istimewanya. “ Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah saw, apakah saat istimewa itu? Beliau bersabda, “Hari dan malam pertamanya. Bertamu itu adalah tiga hari. Kalau lebih dari tiga hari, maka itu adalah sedekah.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Tamu yang disebut di dalam hadits di atas mencakup tamu Mukmin maupun kafir. Kata “dlaifahu” termasuk dalam lafadz umum, sehingga mencakup semua jenis tamu; baik tamu Mukmin, kafir, laki-laki, maupun perempuan. Semua tamu wajib disambut dan dimulyakan dan dihormati berdasarkan nash-nash hadits di atas. Seorang Muslim juga diperintahkan untuk memenuhi hak-hak tamu, sekadar dengan kemampuannya.

Hukum Syara’ Tentang Menerima Tamu dari Kalangan Penguasa Imperialis

Lalu, bagaimana jika tamu yang hendak berkunjung adalah penguasa-penguasa kafir imperialis yang telah terbukti mendzalimi, menganiaya, menjajah, membunuhi kaum Muslim, dan berusaha menistakan kesucian agama Islam? Apakah, ketentuan-ketentuan dalam hadits di atas tetap berlaku?

Jawabnya jelas, seorang Muslim dilarang (haram) menerima kunjungan, menyambut dan memulyakan tamu dari kalangan penguasa kafir imperialis yang jelas-jelas telah terbukti merampas harta, menciderai kehormatan, dan melenyapkan ribuan jiwa kaum Muslim. Alasannya sebagai berikut;

Pertama, larangan menampakkan loyalitas dan kasih sayang kepada orang-orang kafir, lebih-lebih lagi kafir imperialis yang menghisap harta dan darah kaum Muslim. Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalanKu dan mencari keridhaanKu (janganlah kamu berbuat demikian)”. [TQS Al Mumtahanah (60):1]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: “Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati”. [TQS. Ali ‘Imran (3): 118-119]

Kunjungan Barack Obama –penguasa kafir imperialis yang telah membunuhi ribuan kaum Muslim di Irak, Afghanistan, dan pendukung utama negara teroris Israel–, jelas-jelas harus ditolak, dan jika ia memaksa datang, tidak boleh disambut dengan sambutan mulia dan kasih sayang. Pasalnya, ia adalah musuh Islam dan kaum Muslim. Selain itu, kunjungannya di Indonesia diduga membawa agenda-agenda jahat, semacam liberalisasi ekonomi, demokratisasi, serta pressure politik-pressure politik yang merugikan rakyat Indonesia, khususnya umat Islam. Lantas, bagaimana kita akan menerima kunjungannya dan menampakkan rasa hormat dan menyambutnya dengan sambutan kasih sayang –yang sebenarnya ini adalah watak asli umat Islam–, jika orang yang hendak datang adalah penguasa kafir yang dzalim dan lalim terhadap umat Islam?

Kedua, larangan menyakiti kaum Muslim. Penerimaan dan penyambutan Barack Obama di negeri ini, tentu saja akan menyebabkan bertambahnya penderitaan dan rasa sakit kaum Muslim yang pada saat ini tengah menghadapi invasi militer Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina, dan negeri-negeri kaum Muslim lainnya. Padahal, Allah swt dan RasulNya telah melarang kaum Muslim menyakiti saudaranya sendiri, baik dengan ucapan maupun tindakannya. Allah swt berfirman:

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”.[TQS Al Ahzab (33):58]
Nabi saw melalui lisannya yang suci bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, ia tidak akan mendzaliminya dan tidak akan menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari seorang muslim maka dengan hal itu Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan di Hari Kiamat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Penerimaan kunjungan Barack Obama tidak hanya menyakiti saudara-saudara Muslim di negeri-negeri yang secara langsung didzalimi dan dijajah oleh Amerika Serikat, tetapi juga wujud “menyerahkan saudara-saudara Muslim kita” kepada musuh Islam dan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa penguasa negeri ini menerima kunjungan Barack Obama, dan menyambutnya dengan sambutan kenegaraan? Lantas, seandainya negeri ini dikuasai dan diduduki oleh Amerika –dan faktanya kita sekarang sudah dijajah oleh mereka secara non fisik–, lantas apakah kita akan tetap bersikap manis terhadap mereka? Sungguh, hanya orang-orang munafik yang memiliki kasih sayang dan rasa hormat kepada musuh-musuh Allah dan kaum Muslim.

Ketiga, kewajiban membela saudara Muslim yang tidak berada di dekatnya. Nabi Mohammad saw bersabda;
“Barangsiapa yang membela saudaranya saat tidak ada di dekatnya, maka Allah akan membelanya di dunia dan di akhirat”. [HR. Imam Asyi Syihab dari Anas bin Malik ra, dalam Musnad Asy Syuihab]

Wujud pembelaan seorang Muslim terhadap saudara-saudaranya yang pada saat ini dijajah dan dianiaya oleh Amerika Serikat adalah menolak kunjungan mereka, dan tidak menyambutnya dengan keramahan dan kasih sayang. Di dalam hadits-hadits lain, Nabi saw juga bersabda:
“Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya, maka Allah akan menolak api neraka di Hari Kiamat dari wajahnya”. [HR. Imam Tirmidziy dari Abu Darda' ra. Hadits Abu Darda ra ini telah ditakhrij oleh Ahmad. Ia berkata hadits ini sanadnya hasan. Al-Haitsami mengatakan hal yang sama)

Hadits riwayat Ishaq bin Rahwiyyah dari Asma binti Yazid, ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
"Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya pada saat tidak berada di dekatnya, maka Allah pasti akan membebaskannya dari api neraka".[HR. Ishaq bin Rahwiyyah dari Asma' binti Yazid]

Wujud pembelaan seorang Muslim terhadap kaum Muslim di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina yang saat ini tengah menghadapi invasi militer Amerika, adalah menolak kunjungan, kerjasama, maupun intervensi non fisik dari penguasa-penguasa kafir imperialis dan antek-anteknya, semacam Amerika, Inggris, dan Israel.

Keempat, perilaku shahabat. Selain nash-nash di atas, perilaku generasi salafush shalih juga menunjukkan kepada kita, bagaimana sikap seharusnya seorang Muslim. Riwayat-riwayat berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku shahabat terhadap orang-orang kafir, lebih-lebih yang memusuhi Islam dan kaum Muslim.

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Salamah bin Al Akwa’ ra, bahwasanya ia berkata;
“Ketika kami berdamai dengan penduduk Makkah dan sebagian kami bercampur dengan sebagian mereka, aku mendatangi suatu pohon kemudian aku menyingkirkan durinya dan aku merebahkan diriku di akarnya. Kemudian datang kepadaku empat orang kaum Musyrik Makkah. Mereka mulai membicarakan Rasulullah, maka aku pun membenci mereka, hingga aku pindah ke pohon yang lain”.[HR. Imam Muslim]

Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dari Jabir bin Abdillah bahwasanya Abdullah bin Rawahah berkata kepada Yahudi Khaibar:
“Wahai kaum Yahudi! Kalian adalah makhluk Allah yang paling aku benci. Kalian telah membunuh para Nabi dan telah mendustakan Allah. Tapi kebencianku kepada kalian tidak akan mendorongku untuk berlaku sewenang-wenang kepada kalian”.[HR. Imam Ahmad]

Imam Ahmad, Abdur Razak, Al Hakim, dan Abu Ya’la menuturkan hadits hasan dari Abu Faras, ia berkata; Umar bin Khathab pernah berkhutbah dan berkata:
“Barang siapa di antara kalian menampakan suatu kejahatan, maka kami akan menduganya berlaku jahat, dan kami akan membencinya karena kejahatan itu..” [HR. Imam Ahmad, Abdur Razaq, Al Hakim, dan Abu Ya'la. Imam Al Hakim menyatakan bahwa hadits ini hasan menurut syarat Imam Muslim]

Menepis Syubhat

Adapun riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw pernah menerima utusan Musailamah Al Kadzdzab, dan Abu Sofyan pemimpin Quraisy. Riwayat-riwayat ini sering dijadikan argumentasi bolehnya seorang Muslim menerima kunjungan dan menyambut tamu dari kalangan orang kafir penjajah. Padahal, dengan pembacaan yang seksama dan teliti dapatlah disimpulkan bahwa riwayat-riwayat tersebut tidak layak dijadikan hujjah atas argumentasi mereka. Untuk itu, kami perlu memaparkan panjang lebar riwayat tersebut agar tidak ada kesalahan dalam penarikan kesimpulannya.
Imam Ahmad dan Abu Dawud menuturkan sebuah riwayat dari Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’iy ra bahwasanya ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata kepada dua orang utusan, ketika beliau saw membaca surat Musailamah al-Kadzdzab, “Apa yang hendak kalian katakan?” Mereka menjawab, “Kami mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Musailamah al-Kadzdzab.” Nabi saw pun bersabda, “Demi Allah, seandainya bukan karena para utusan tidak boleh diutus, niscaya akan kupenggal leher kalian berdua”.[HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud]

Di dalam Sunan Abu Dawud dikisahkan bahwasanya, ‘Abdullah bin Mas’ud pernah menjalin pershahabatan dengan seorang Arab, lalu beliau berkehendak untuk mengunjunginya. Dalam perjalanannya, beliau melewati sebuah masjid milik Bani Hanifah, dan disaksikannya bahwa Bani Hanifah telah menjadi pengikut Musailamah al-Kadzdzab. Melihat keadaan itu, ‘Abdullah bin Mas’ud ra diutus menemui mereka untuk menyadarkan mereka. Beliau ra pun menemui mereka dan menyadarkan kesesatan dan kekeliruan mereka. Setelah mendapatkan penjelasan dari beliau, semua penduduk Bani Hanifah kembali ke pangkuan Islam, kecuali Ibnu Nawwahah. Ia tetap bersikukuh menjadi pengikut setia Musailamah al-Kadzdzab. Ibnu Mas’ud ra berkata kepadanya, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Seandainya engkau bukan seorang utusan, niscaya sudah aku penggal lehermu”. Akan tetapi, sekarang ini engkau bukanlah seorang utusan”. Ibnu Mas’ud segera memerintahkan Qurzah bin Ka’ab untuk memenggal leher Ibnu Nawwahah. Dan akhirnya, Ibnu Nawwahah dipenggal lehernya di pasar. Setelah itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Siapa saja yang ingin mengetahui Ibnu Nawwahah, kini ia telah terbunuh di pasar”.

Dari paparan seluruh riwayat di atas dapatlah disimpulkan bahwa seorang utusan yang datang ke dalam Daulah Khilafah Islamiyyah haruslah mendapatkan perlindungan, selama mereka adalah berkedudukan sebagai utusan (delegasi). Dengan demikian, riwayat-riwayat di atas berhubungan dengan dengan hukum melindungi utusan, bukan berkaitan dengan hukum menerima dan menyambut tamu. Bahkan, di dalam riwayat itu jelas sekali ditunjukkan, bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap utusan-utusan kaum kafir yang memusuhi Islam dan kaum Muslim. Sabda beliau, “Seandainya engkau bukan seorang utusan, niscaya sudah aku penggal lehermu”, menunjukkan bahwa beliau bersikap sangat keras dan tidak menunjukkan penerimaan yang ramah terhadap mereka. Begitu pula sikap seharusnya penguasa Muslim ketika menghadapi penguasa kafir penjajah yang memusuhi umat Islam, yakni menekan, merendahkan, mengancam, dan memerangi mereka jika mereka tidak menghentikan permusuhan dan penganiayaan mereka terhadap umat Islam.

Begitu pula riwayat mengenai kunjungan Abu Sofyan kepada Madinah, juga tidak berhubungan dengan penyambutan tamu atau penghormatan tamu dari kalangan penguasa kafir. Kunjungan Abu Sofyan ke Madinah dikarenakan ia ingin memperbarui perjanjian dengan Rasulullah saw setelah sebelumnya orang-orang Quraisy menyerang Bani Khuza’ah yang merupakan sekutu Nabi saw. Penyerangan Quraisy terhadap Bani Khuza’ah tersebut telah membatalkan perjanjian Hudaibiyyah yang ditandatangani antara Kaum Quraisy dan Nabi saw. Oleh karena itu, Abu Sofyan mendatangi Nabi saw di Madinah untuk memulihkan perjanjian damai. Ibnu Hisyam dalam Kitab Sirahnya menceritakan peristiwa ini sebagai berikut, “Ibnu Ishaq berkata, “Setelah itu, Abu Sofyan bin Harb datang ke tempat Nabi saw. Ia berbicara dengan beliau, namun beliau saw tidak menggubrisnya. Lalu, Abu Sofyan pergi ke tempat Abu Bakar ra, dan menyuruhnya berbicara dengan Rasulullah saw, namun Abu Bakar berkata, “Aku tidak mau!”. Kemudian, Abu Sofyan bin Harb mendatangi rumah Umar bin Khaththab dan berbicara dengannya, namun Umar malah berkata, “Aku harus membelamu di hadapan Rasulullah saw? Demi Allah, jika aku hanya mendapatkan semut kecil, aku akan memerangimu bersamanya”. Abu Sofyan keluar dari rumah Umar bin Khaththab ra dan menemui Ali bin Abi Thalib ra yang saat itu sedang bersama dengan isterinya, Fathimah binti Mohammad saw dan anak keduanya, Hasan bin ‘Ali yang sedang merangkak. Abu Sofyan berkata, “Hai, Ali, engkau adalah orang yang paling penyayang. Aku datang kepadamu untuk satu keperluan, oleh karena itu, jangan pulangkan aku dalam keadaan gagal total. Belalah aku di hadapan Rasulullah saw”. Ali bin Abi Thalib berkata, “Celakalah kamu, hai Abu Sofyan! Demi Allah, Rasulullah saw telah bertekad kepada sesuatu dan kita tidak bisa bernegoisasi dengan beliau”. Abu Sofyan menoleh kepada Fathimah binti Mohammad, seraya berkata, “Wahai putri Mohammad, maukah engkau menyuruh anak kecilmu ini melindungi manusia, kemudian ia akan menjadi pemimpin Arab sepanjang zaman? Fathimah menjawab, “Demi Allah, annakku tidak bisa melindungi manusia dan seorangpun tidak bisa melindungi mereka dari Rasulullah saw…. Abu Sofyan menaiki untanya dan pulang ke Makkah. Sesampainya di Makkah, orang-orang Quraisy bertanya kepadanya, “Informasi apa yang engkau bawa? Abu Sofyan bin Harb berkata, “Aku datang kepada Mohammad saw kemudian berbicara dengannya, namun ia tidak menyahut sedikitpun. Kemudian aku datang kepada Abu Bakar, namun aku tidak melihat kebaikan sedikitpun dari dirinya. Lalu, aku menemui Umar bin Khaththab dan mendapatinya orang yang paling keras permusuhannya. Kemudian aku datang kepada Ali bin Abi Thalib dan mendapatinya orang yang paling lembut. Ia menasehatiku untuk melakukan sesuatu, namun demi Allah, aku tidak tahu apakah sesuatu itu bermanfaat bagiku atau tidak. Orang-orang Quraisy berkata, “Apa yang diperintahkan Ali bin Abi Thalib kepadamu? Abu Sofyan bin Harb menjawab, “Aku disuruh untuk melindungi manusia dan aku pun melakukannya”. Orang-orang Quriasy berkata lagi, “Apakah Mohammad membolehkannya? Abu Sofyan menjawab, “Tidak!”. Orang-orang Quraisy berkata, “Celakalah engkau! Engkau telah dipermainkan oleh Ali bin Abi Thalib. Apa yang engkau katakan tadi sama sekali tidak bermanfaat bagimu”. Abu Sofyan berkata, “Demi Allah, aku tidak memiliki alternatif lain”. [Ibnu Hisyam, As Sirah An Nabawiyyah, hal.735]

Riwayat ini menunjukkan dengan sangat jelas, bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap Abu Sofyan, beliau saw sama sekali tidak menggubris kedatangannya, bahkan beliau siap menyerang Mekah, karena pengkhianatan kaum Quraisy terhadap perjanjian Hudaibiyyah. Nabi saw tidak pernah menerima dan menyambut Abi Sofyan bin Harb dengan penyambutan kenegaraan yang menunjukkan rasa hormat dan belas kasih, namun beliau saw memperlakukan Abu Sofyan ra dengan sangat keras, hingga harga diri dan kesombongan Abu Sofyan luruh bagaikan sekawanan laron yang tersambar api pelita. Lalu, dari arah mana bisa dinyatakan bahwa para penguasa negeri-negeri Islam wajib menerima, menyambut, dan memulyakan tamu dari kalangan para penguasa kafir yang lalim dan dzalim itu, dengan alasan bahwa Nabi saw pernah menerima dan menyambut Abu Sofyan bin Harb? Padahal, bukankah Nabi saw jelas-jelas menolak dan tidak menggubris kedatangan Abu Sofyan bin Harb, begitu pula sikap para shahabat? Atas dasar itu, menggunakan kisah kedatangan Abu Sofyan ke Madinah adalah istinbath yang keliru dan mengada-ada.

Lalu, setelah penjelasan ini, masihkah ada orang yang tetap bersikukuh untuk menerima, menyambut, dan menghormati kedatangan penguasa kafir yang jelas-jelas terbukti menganiaya dan membunuhi ribuan kaum Muslim, serta merampok dan menguras habis kekayaan umat Islam?

Kesimpulannya:

(1) seorang Muslim, lebih-lebih lagi penguasa Muslim dilarang (haram) menerima dan menyambut kedatangan penguasa kafir yang jelas-jelas memusuhi dan memerangi Islam dan kaum Muslim,
(2) sikap sejati seorang Muslim adalah bersikap keras terhadap orang-orang kafir, dan membela saudara-saudaranya yang saat ini tengah dianiaya oleh orang-orang kafir,
(3) jika penguasa Muslim memiliki kemampuan, maka ia wajib membebaskan saudara-saudara Muslimnya dari penjajahan, penganiayaan, serta pembunuhan yang dilakukan oleh kafir imperialis, dengan mencurahkan segenap kemampuan fisik maupun non fisiknya. Wallahul Musta’aan Wa Huwa Waliyut Taufiq.


By: Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy



Read more »

 
Powered by Blogger